Di balik hirup-pikuk arena sabung ayam, tersembunyi sebuah konflik yang mengakar jauh dalam rana budaya dan hukum Indonesia. Baru-baru ini, wacana regulasi sabung ayam kembali mencuat ke permukaan. Wakil Ketua DPRD Bali, Ida Gede Komang Kresna Budi, secara terbuka mengusulkan legalisasi tajen—sebutan untuk sabung ayam di Bali—yang dinilai sarat dengan nilai tradisi dan keagamaan . Lantas, bagaimana kita harus menyikapi tarik-ulur antara melestarikan warisan leluhur dan menegakkan hukum modern yang melarangnya?
Akar Budaya Regulasi Sabung Ayam Sebagai Ibadah
Bagi dunia luar, sabung ayam mungkin hanya terlihat sebagai pertarungan berdarah. Namun, di Bali, praktik ini menyatu dengan denyut nadi kehidupan spiritual masyarakat Hindu. Sabung ayam merupakan bagian tak terpisahkan dari ritual adat yang dikenal sebagai tabuh rah .
Dalam upacara ini, darah ayam yang tertumpah dianggap sebagai persembahan untuk para dewa dalam rangkaian upacara penyucian dan kesuburan. Tradisi ini bukanlah hal baru; catatan sejarah dalam Prasasti Sukawana dan Prasasti Batur Abang menunjukkan bahwa tabuh rah telah berlangsung sejak abad ke-10 . Seorang antropolog ternama, Clifford Geertz, dalam esainya “Deep Play: Notes on the Balinese Cockfight”, menggambarkan sabung ayam di Bali bukan sekadar pertarungan, melainkan simbol status sosial, harga diri, dan ekspresi budaya yang kompleks . Di ruang inilah, regulasi sabung ayam yang kaku tanpa pemahaman budaya dirasakan seperti mengikis identitas masyarakat.
Beban Hukum Ketegangan antara “Tradisi” dan “Judi”
Meskipun memiliki landasan budaya yang kuat, realitasnya sabung ayam di Indonesia berhadapan dengan tembok hukum yang kokoh. Bagaimana hukum melihat ini?
Dasar Regulasi Hukum Larangan Sabung Ayam
Larangan terhadap praktik sabung ayam terutama didasarkan pada unsur perjudian yang melekat di dalamnya. Berikut adalah dasar hukum yang melatarbelakangi pelarangan tersebut:
| Dasar Hukum | Isi/Ketentuan | Ancaman Hukuman |
|---|---|---|
| Pasal 303 KUHP | Melarang segala bentuk perjudian, termasuk yang menggunakan uang atau barang sebagai taruhan. | Penjara maksimal 4 tahun atau denda hingga Rp 10 juta. |
| UU No. 7 Tahun 1974 | Tentang Penertiban Perjudian, mengkategorikan perjudian sebagai kejahatan. | Penjara hingga 10 tahun atau denda Rp 25 juta. |
| Pasal 426 KUHP Baru (UU 1/2023) | Menjerat pihak yang menawarkan atau memberi kesempatan berjudi sebagai mata pencaharian. | Penjara maksimal 9 tahun. |
Selain itu, larangan juga datang dari perspektif agama. Islam, sebagai agama mayoritas di Indonesia, secara tegas melarang perjudian dan penyiksaan terhadap makhluk hidup. Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan At-Tirmidzi menyatakan, “Rasulullah SAW melarang (kita) mengadu binatang” . Ulama Mazhab Syafi’i juga menegaskan bahwa mengadu hewan adalah haram karena menyakiti tanpa manfaat yang jelas .
Regulasi Sabung Ayam: Dampak Sosial yang Tidak Ringan
Konflik hukum ini tidak hanya berdampak pada pelaku. Beberapa dampak sosial negatif yang sering dikaitkan dengan sabung ayam ilegal antara lain:
-
Dapat Memicu Kriminalitas: Lingkungan sabung ayam ilegal sering kali menarik unsur-unsur kriminal lainnya. Tragedi di Lampung pada Maret 2025 menjadi bukti kelam, di mana tiga anggota polisi gugur ditembak saat menggerebek arena sabung ayam .
-
Menimbulkan Masalah Ekonomi dan Keluarga: Kecanduan berjudi dapat membuat seseorang mengabaikan kewajiban kepada keluarga dan pekerjaan. Kerugian finansial akibat kekalahan taruhan berpotensi memperburuk kondisi ekonomi rumah tangga .
-
Eksploitasi dan Subordinasi Perempuan: Sebuah studi sastra mengungkapkan representasi perempuan Bali dalam dunia sabung ayam. Dalam dua cerpen Indonesia, perempuan sering digambarkan sebagai pihak yang tersubordinasi dan menjadi objek seksual para penjudi, mencerminkan praktik patriarki yang kental dalam arena ini .
Mencari Jalan Tengah Regulasi Sabung Ayam Pro-Kontra Legalisasi dan Solusi Masa Depan
Memasuki tahun 2025, perdebatan mengenai regulasi sabung ayam semakin memanas. Pihak kepolisian, dalam hal ini diwakili oleh Kabid Humas Polda Bali, Kombes Ariasandy, bersikukuh akan menindak tegas setiap unsur perjudian selama aturan hukum positif masih berlaku . “Kebijakan soal kearifan lokal, silakan pemerintah yang mengatur itu,” ujarnya, menunjukkan batasan wewenang yang jelas .
Di sisi lain, para pendukung legalisasi memiliki argumen yang kuat. Mereka melihat peluang besar yang selama ini terabaikan.
Argumen Pendukung Legalisasi
Mengurangi Ruang Ilegalitas dan Pungli
Ketidakjelasan regulasi sabung ayam dianggap memicu pungutan liar (pungli) oleh oknum aparat . Dengan legalisasi, praktik kotor ini dapat diminimalisir.
Dampak Ekonomi Positif bagi Masyarakat Kecil
Legalisasi dipercaya dapat membuka dampak ekonomi positif, khususnya bagi pedagang kecil dan penyedia jasa di sekitar lokasi . Beberapa anggota DPRD Bali bahkan berargumen, pendapatan dari aktivitas yang diatur dapat menyumbang cuan untuk pembangunan daerah, dengan menyitir contoh kebijakan masa lalu di Jakarta .
Melindungi Tradisi Inti (Tabuh Rah)
Legalisasi dapat menjadi pisau bermata dua yang memisahkan dengan tegas antara tabuh rah yang sakral dengan tajen yang bersifat hiburan dan judi. Ketua Komisi IV DPRD Bali, I Nyoman Suwirta, berpendapat bahwa tabuh rah sebagai bagian upacara tidak perlu diatur Perda, karena sudah murni ranah agama .
Lalu, adakah jalan tengah yang bisa memuaskan semua pihak? Beberapa opsi solutif yang bisa dipertimbangkan adalah:
-
Regulasi Berbasis Budaya dan Lokasi: Pemerintah dapat menerbitkan peraturan daerah yang secara ketat mengatur pelaksanaan tajen, misalnya hanya diizinkan di lokasi tertentu dan pada hari-hari besar adat.
-
Pemisahan yang Jelas antara Ritual dan Judi: Membuat definisi hukum yang sangat jelas untuk membedakan tabuh rah (ritual tanpa judi) dengan tajen (hiburan yang mungkin melibatkan taruhan). Penegakan hukum kemudian dapat difokuskan pada aktivitas di luar ritual.
-
Transformasi Menuju Ekonomi Kreatif: Mengikuti jejak Paguyuban Penggemar Ayam Jago Indonesia (PAPAJI) yang mengubah konsep sabung ayam menjadi perlombaan ketangkasan ayam tanpa unsur perjudian, di mana ayam tidak bertarung hingga mati, melainkan dinilai berdasarkan teknik bertarungnya .
Pada akhirnya, pertanyaannya bukan lagi sekadar “legal atau ilegal?”, melainkan bagaimana kita sebagai bangsa mampu menghormati warisan budaya tanpa menutup mata pada dampak sosial dan hukum yang nyata. Dilema regulasi sabung ayam ini adalah cermin dari tantangan Indonesia modern: merangkul kemajuan tanpa melupakan jati diri.
Mampukah kita menemukan formulasi yang tepat, di mana kearifan lokal tidak harus berbenturan dengan hukum, tetapi justru berjalan beriringan menuju tata kehidupan yang lebih beradab? Jawabannya terletak pada kedewasaan kita semua dalam berdialog dan keberanian pemerintah untuk membuat terobosan kebijakan yang cerdas dan kontekstual.